Bagi adat Luhak Kepenuhan, dalam setiap suku nan sepuluh memiliki bendera atau yang sebut tunggul-tunggul, yang merupakan lambang suatu suku. Tunggul-tunggul adat tersebut memiliki arti tersendiri sesuai dengan jati diri yang dimiliki oleh suku tersebut. Pada masa dahulu, tunggul-tunggul adat ini adalah tanda pengenal sekaligus simbol yang dapat supaya terhindar dan hal-hal yang merugikan antara satu si dengan suku lainnya. Untuk memberi tanda, apakah musuh at lawan, demikianlah manfaatnya pada waktu itu.
Masing-masing suku memiliki panji-panji yang disebut dengan tunggul-tunggul adat yang pada mulanya sama ukurannya. Namun karena perkembangan zaman, akhirnya ukuran tunggul-tunggul tersebut berbeda antara yang punya satu suku dengan suku lainnya. Misalnya, tunggul Suku Mais pendek dari pada yang dimiliki oleh Suku Melayu.
Tungul-tunggul tersebut dapat disaksikan pada saat-saat acara atau upacara adat seperti kegiatan berlimau, halal bihal pada lebaran hari kedua idul fitri, atau pada acara yang dianggap oleh snku nan sepuluh sebagai acara adat yang mengikut sertakan tunggul-tunggul adat dalam proses pelaksanaan acara adat.
Penggunaan tunggul-tunggul adat Luhak Kepenuhan tersebut dimaksudkan untuk beberapa hal berikut ini
1. Untuk melestarikan kebudayaan daerah.
2. Untuk mengingat kembali arti dan makna yang terkandung di dalamnya
3. Untuk mengenang kembali sejarah yang telah diukir oleh para nenek moyang terdahulu.
Biasanya salah satu dari Ompek Bosa di Balai yang bertugas menguraikan hal-hal di atas, sehingga anak kemenakan dapat mengambil pelajaran dan ilmu dari pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Begitu juga tentunya terhadap mereka yang hadir pada pelaksanaan acara penaikan tunggul-tunggul tersebut.
Pada saat akan menaikan tunggul-tunggul, kepada suku nan sepuluh dihimbau untuk berdiri di dekat tiang tunggul-tunggul, mulai dari Pucuk, Tungkek, Mamak, Mato Buah Poik, dan anak kemenakan. Hal ini dimaksudkan untuk pengharapan dan kebanggaan serta menghormati tungul-tunggul adat. Selain itu juga menunjukkan suatu arti bagi sebuah lambang dan simbol kebesaran yang mereka miliki.
Pelaksanaan penaikan tungul-tunggul ini tetap di lakukan oleh suku nan sepuluh. Maksudnya adalah dinaikkan secara bergantian dari satu suku sampai kesepuluh suku. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang tidak dapat diubah oleh siapa pun, bahwa penaikan tungul-tunggul dilaksanakan secara adat.
Di samping tunggul-tunggul suku nan sepuluh masih ada tiga lagi, yaitu Tunggul Imam berwarna putih polos, Tunggul Khotib berwarna hijau, dan Tunggul Dubalang berwarna merah hati. Adapun tata cara urutan penaikan tunggu-tunggul adat dilaksanakan secara berurutan, di mulai dari urutan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Suku Bangsawan.
2. Suku Anak Raja-raja.
3. Suku Nan Seratus.
4. Suku Melayu
5. Suku Moniliang.
6. Suku Pungkuik.
7. Suku Kandang Kopuh
8. Suku Mais.
9. Suku Kuti.
10. Suku Ampu.
11. Imam Nan Ompek
12. Dubalang
13. Khotih.
Sebelum penaikan tunggul adat tersebut terlebih dahulu ditandai dengan peletusan Lelo oleh Dubalang Adat yang diiringi oleh musik tradisional yaitu ogong serta pencak silat. Di bawah ini diuraikan makna dan arti yang terkandung dalam setiap tunggul yang dimiliki oleh suku nan sepuluh dan Tunggul Imam, Tunggul Khotib, serta Tunggul Dubalang.
Masing-masing suku memiliki panji-panji yang disebut dengan tunggul-tunggul adat yang pada mulanya sama ukurannya. Namun karena perkembangan zaman, akhirnya ukuran tunggul-tunggul tersebut berbeda antara yang punya satu suku dengan suku lainnya. Misalnya, tunggul Suku Mais pendek dari pada yang dimiliki oleh Suku Melayu.
Tungul-tunggul tersebut dapat disaksikan pada saat-saat acara atau upacara adat seperti kegiatan berlimau, halal bihal pada lebaran hari kedua idul fitri, atau pada acara yang dianggap oleh snku nan sepuluh sebagai acara adat yang mengikut sertakan tunggul-tunggul adat dalam proses pelaksanaan acara adat.
Penggunaan tunggul-tunggul adat Luhak Kepenuhan tersebut dimaksudkan untuk beberapa hal berikut ini
1. Untuk melestarikan kebudayaan daerah.
2. Untuk mengingat kembali arti dan makna yang terkandung di dalamnya
3. Untuk mengenang kembali sejarah yang telah diukir oleh para nenek moyang terdahulu.
Biasanya salah satu dari Ompek Bosa di Balai yang bertugas menguraikan hal-hal di atas, sehingga anak kemenakan dapat mengambil pelajaran dan ilmu dari pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Begitu juga tentunya terhadap mereka yang hadir pada pelaksanaan acara penaikan tunggul-tunggul tersebut.
Pada saat akan menaikan tunggul-tunggul, kepada suku nan sepuluh dihimbau untuk berdiri di dekat tiang tunggul-tunggul, mulai dari Pucuk, Tungkek, Mamak, Mato Buah Poik, dan anak kemenakan. Hal ini dimaksudkan untuk pengharapan dan kebanggaan serta menghormati tungul-tunggul adat. Selain itu juga menunjukkan suatu arti bagi sebuah lambang dan simbol kebesaran yang mereka miliki.
Pelaksanaan penaikan tungul-tunggul ini tetap di lakukan oleh suku nan sepuluh. Maksudnya adalah dinaikkan secara bergantian dari satu suku sampai kesepuluh suku. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang tidak dapat diubah oleh siapa pun, bahwa penaikan tungul-tunggul dilaksanakan secara adat.
Di samping tunggul-tunggul suku nan sepuluh masih ada tiga lagi, yaitu Tunggul Imam berwarna putih polos, Tunggul Khotib berwarna hijau, dan Tunggul Dubalang berwarna merah hati. Adapun tata cara urutan penaikan tunggu-tunggul adat dilaksanakan secara berurutan, di mulai dari urutan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Suku Bangsawan.
2. Suku Anak Raja-raja.
3. Suku Nan Seratus.
4. Suku Melayu
5. Suku Moniliang.
6. Suku Pungkuik.
7. Suku Kandang Kopuh
8. Suku Mais.
9. Suku Kuti.
10. Suku Ampu.
11. Imam Nan Ompek
12. Dubalang
13. Khotih.
Sebelum penaikan tunggul adat tersebut terlebih dahulu ditandai dengan peletusan Lelo oleh Dubalang Adat yang diiringi oleh musik tradisional yaitu ogong serta pencak silat. Di bawah ini diuraikan makna dan arti yang terkandung dalam setiap tunggul yang dimiliki oleh suku nan sepuluh dan Tunggul Imam, Tunggul Khotib, serta Tunggul Dubalang.