- Selamat datang di website resmi Luhak Kepenuhan, Negeri BERADAT -                                                                                                                         - Adat bersendikan Syarak, Syarak bersendikan Kitabullah -                                                                                                                        -Adat Luhak Kepenuhan mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Adha 1435 H... Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin. -                                                                                                                        - Website ini masih dalam proses pelengkapan data (by: admin)-

Periode Ke Dua (2)

  • Diposting oleh Unknown
  • di Kamis, Agustus 01, 2013 -
Setelah memiliki raja sebagai yang mereka inginkan, kehidupan di Rantau Binuang mulai dirasakan sebagai sebuah kehidupan yang didambakan yaitu kehidupan yang aman, tenteram, dan dinamis. Periode kedua ini merupakan periode yang memiliki Perkembangan lumayan hebat dalam sejarahnya. Pada saat itu segala aktivitas dapat mereka lakukan tanpa ada rasa takut dan was-was akan menimpa mereka, karena Situasi betul-betul aman.
Ketika To’ Permaisuri diutus oleh Yang Dipertuan Tua ke Rantau Binuang, statusnya belum memilikj pasangan hidup. Duh yang Dipertuan Tua, abang dari To’ Permaisuri pun pergi ke Pinang Awan di Sungai Merah untuk menemui adik Raja Aru. Maksud kedatanganya adalah untuk menikahkan To’ Permaisuri dengan adik Raja Aru, yaitu Barluni Tarligan. Romhongan Kerajaan Aru kemudian mereka bawa ke Tambusai.


Padahal di sisi lain, Yang Dipertuan Tua sebenarnya merasa berat untuk berpisah dengan saudaraya. Oleh karenanya sebelum mendapatkan To’ Permaisuri Raja Aru harus nempuh padang Selingkunan sehagai tantangan atau salah satu syarat untuk mendapatkan To’ Permaisuri.


Di Selingkunan itu hidup seekor kerbau jalang yang harus dihadapi oleh Raja Aru sebagai tanda keperkasaan atau kekutannya. Sesampainya di Selingkunan, unutk beberapa saat Raja Aru dan rombongan melepaskan lelah. Tiba-tiba terdengarlah suara kerbau jalang yang langsung mengejar Raja Aru. Beberapa saat kemudian keduanya saling bentrok sampai akhirnya kerbau jalang itu dibunuh oleh Raja Aru dengan tikaman tombaknya. Tombak yang dibawa Raja Aru tersebut merupakan bagian dari perbekalan perjalanannya selain perisai dan buntil. Akhir dari pertarungan itu tentu adalah kekalahan kerbau jalang. Kerbau jalang itu pun dibawa ke Tambusai setelah sebelumnya disembelih untuk dipupahkan (upah-upah) sebagai orang yang meminang To’ Permaisuri.


Setelah Raja Aru genap satu bulan di Tambusai, Duli Yang Dipertuan Tua berkata kepada suku nan tujuh bahwa Raja Aru adalah jodoh adiknya. Selanjutnya setelah restu diberikan oleh Yang Dipertuan Tua, Raja Tambusai, maka Raja Aru pulang ke negerinya dengan diantar oleh suku nan sembilan melalui jalur Kuala di Nogoi Tingga (daerah Gelugur Kota Tengah).
Setelah beberapa tahun hidup bersama To’ Permaisuri mangkatlah Raja Aru dengan meninggalkan dua orang putera sebagai calon penggantinya. Tercatat dalam sejarah bahwa hanya seorang putera yang disebut namanya sebagai pengganti Raja Aru, yaitu Datuk Negeri Tingga. Setelah Raja Aru mangkat, kehidupan kerajaan tetap bertahan sebagaimana sebelumnya, yaitu raja, punggawa, dan masyarakatnya dapat menjalankan segala aktivitasnya tanpa menemui hambatan.

Urutan pergantian kepemimpinan Kerajaan Aru setelah Datuk Negeri Tingga wafat maka digantikan oleh puteranya yaitu Maruhum Sultan Sulaiman. Setelah Maruhum Sultan Sulaiman mangkat kemudian digantikan oleh To’ Maruhum Kaya. To’ Maruhum Kaya pun akhirnya mangkat dan digantikan oleh puteranya yang bernama Maruhum Sultan Matullah Yang Dahulu.
Setelah mangkat Maruhum Sultan Matullah Yang Dahulu, beliau digantikan oleh puteranya To’ Sutan Makula Yang Dahulu. Beliau ini meninggalkan putera sebagai penggantinya yaitu To’ Maruhum Sutan Sulaiman. To’ Maruhum Sutani Sulaiman mempunyai putera Sutan Makula sebagai pengganti kedudukannya sebagai raja yang selanjutnya juga digantikan oleh puteranya yang bernama Sultan Sulaiman dengan Maruhum Akhir Zaman yang menjadi raja di Kerajaan Tambusai.


Kemudian datanglah Sultan Sulaiman ke Tambusai untuk menikah dengan salah seorang puteri raja. Pernikahan itu tidak berlangsung lama, karena istrinya meninggal dunia dan akhirnya Sultan Sulaiman kembali ke Kepenuhan. Sepulangnya dari Tambusai beliau langsung diangkat menjadi raja di Kepenuhan. Tidak berapa lama berselang datang pula Yang Tuan Muda Pagaruyung ke Kepenuhan yang diberi gelar dengan Yang Tuan Besar.


Pada masa periode II, kepulangan Sultan Sulaiman ke daerah asalnya, yaitu Kepenuhan, adalah untuk memimpin kembali kerajaan. Kepulangan itu membawa berkah dalam catatan sejarah bagi Luhak Kepenuhan, karena beliau adalah orang Kepenuhan asli yang pertama menjadi raja, sebagaimana disebut dalam bukunya Putri Minerva Mutiara yang berjudul, Sejarah Tambusai, tetapi tidak diketahui tahun berapa pastinya Sultan Sulaiman tersebut memerintah. Berdasarkan keterangan Mantan Saih Paduko, yaitu Datuk Abdul Latief (almarhum), bahwa kerajaan tersebut berlangsung sebelum masyarakat Kepenuhan meminta Raja ke Pagaruyung.


Ada keterputusan tali sejarah setelah Sultan Sulaiman menjadi raja di Kepenuhan. Menurut informasi dari beberapa tokoh masyarakat, bahwa yang memberi gelar Datuk Bendahara Sakti adalah Sultan Sulaiman ini ( lihat pasal Datuk Bendahara Sakti).


Dalam pasal tersebut terlihat, bahwa kondisi masyarakat dalam keadaan yang tidak menentu setelah wafatnya Sultan Sulaiman. Ditambah lagi dengan banyaknya kerajaan-kerajaan yang menambah tanah kekuasaannya. Akibatnya, masyarakat mengambil tindakan mengungsi besar-besaran untuk mencari prlindungan dari situasi yang tidak menentu tersebut.
Pada saat itu suku-suku sudah mulai ada, sebagai buktinya bisa dilihat berdasarkan proses kedatangan mereka setelah melalui jojo (saling kenal) di antara mereka. Datuk Bendahara Sakti dapat mengendalikan masyarakat dalam wilayah kekuasaannya yaitu, perkampungan yang beliau pimpin. Namun demikian beliau menyadari bahwa usia yang tidak mungkin untuk terus mendampingi masyarakat atau anak kemenakannya, sehingga beliau berpikir untuk mencari penggantinya.


Pemikiran tersebut beliau sampaikan kepada anak kemenakannya dan dimusyawarahkan dengan seksama serta bijaksana. Mereka sedang membutuhkan seorang raja untuk mengganti kepemimpinan yang kosong. Hasil dari musyawarah itu menyimpulkan untuk mengirim utusan ke raja di Pagaruyung memohon agar memberikan seorang raja.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut maka diutuslah dengan memberikan kepercayaan kepada Suku Ampu (baca Bab Adat) untuk mendampingi rombongan ke Pagaruyung. Rombongan yang dipimpin oleh Suku Ampu tersebut diiringi dengan doa, “semoga perjalanan itu membawa berkah dan hash yang diinginkan”. Setelah menempuh perjalanan hari demi hari, minggu demi minggu, akhirnya rombongan sampai di Pagaruyung, yang waktu itu dipimpin oleh Datuk Popatih Nan Sebatang.


Dengan persetujuan para Punggawa Kerajaan Pagaruyung, kepala rombongan pun diperkenankan menemui Raja Pagaruyung untuk mengutarakan maksud kedatangan rombongan dari Kepenuhan. Rombongan masyarakat Kepenuhan memohon kepada raja agar memberikan seorang Raja untuk memimpin Kepenuhan. Denga berbagai pertimbangan akhirnya Raja Pagaruyung mengabulkan permintaan tersebut dengan memberikan seorang raja yang masih kecil, yakni berumur sekitar 11 tahun.


Dengan perasaan haru kepala rombongan mengucapka banyak terima kasih kepada Raja Pagaruyung yang telah bermurah hati memberikan seorang raja kepada masyarakat Kepenuhan. Setelah semua urusan selesai, sebagai perwakil rombongan masyarakat Kepenuhan, akhirnya kepala rombong berpamitan kepada raja untuk kembali ke Kepenuhan.
Sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan pulang rombongan masyarakat Kepenuhan dipimpin oleh Suku Ampu. Bermula dari tingkah laku calon sang raja masih kekanak-kanakan dan manja, maka segala yang diinginkannya harus iikuti sebagai perintah dan titah.
Orang Suku Ampu adalah mempunyai sifat cepat tersinggung dan pemarah (lihat Bab Tentang Lahirnya Suku-Suku Kepenuhan). Oleh karenanya ketika melihat sikap raja yang kekanak-kanakan dan manja tersebut membuat pimpinan rombongan merasa kesal. Setelah menumpuh perjalanan yang cukup jauh akhirnya raja beserta rombongan beristirahat guna melepaskan lelah dan dahaga. Raja yang merasa lelah dan haus pun minta disediakan minum.
Pada waktu itu tempat minum masih menggunakan bambu. Dengan minum menggunakan wadah dari bambu, pimpinan rombongan berpikir kalau dirinya berkesempatan untuk menghabisi nyawa sang raja sebagai pelampiasan rasa kekesalannya. Sebelum diberikan kepada raja, tempat minum dari bambu ia runcingkan terlebih dahulu. Tanpa curiga raja pun menikmati minuman dari dalam bambu yang telah diruncingkan tersebut. Pada kesempatan itulah pimpinan rombongan menekan bambu yang ada di mulut raja, hingga akhirnya raja mati terbunuh oleh mpinan rombongan dengan menusukkan bambu ke mulut raja kecil pemberian Raja Pagaruyung.


Melihat kejadian itu, anggota rombongan lainnya tidak berani menyelamatkan raja atau mengambil tindakan atas perbuatan pimpinan mereka. Suku Ampu bahkan mengeluarkan ancaman kepada anggota rombongan yang bersamanya, apabila yang menceritakan hal tersebut kepada Datuk Bendthara Sakti maka akan dibunuh. Sikap Suku Ampu begitu angkuh hingga mereka sampai di kampung halaman.


Ketika hampir sampai di Kepenuhan, Datuk Bendahara Sakti beserta kemenakan dan masyarakatnya menyambut kepulangan rombongan dari Pagaruyung. Mereka sangat berharap mendengar kabar yang menggembirakan guna mengobati kerinduan dan harapan adanya seorang raja yang akan mengembalikan kepercayaan diri mereka terhadap apa yang sedang mereka hadapi.


 Setelah rombongan itu mendekat hampir sampai ke tempat penyambutan, mereka tidak melihat raja yang mereka idam-idamkan. Mereka pun menghampiri Datuk Bendahara Sakti untuk mendengarkan hasil perjalanan yang dipimpin oleh Suku Ampu. Dengan wajah sangat sedih pimpinan rombongan menceritakan hasil dari perjalanan mereka, yaitu mereka sudah berupaya memohon kepada Raja Pagaruyung untuk memberikan raja, namun Raja Pagaruyung belum mengabulkan permintaan mereka. Demikian kilah kepala rombongan kepada masyarakat yang hadir pada waktu itu.


Datuk Bendahara Sakti tidak habis pikir atas sikap yang ditunjukkan oleh Raja Pagaruyung. Datuk Bendahara Sakti sangat percaya dengan apa yang disampaikan pimpinan rombongan. Rahasia terus terkunci. Beberapa waktu kemudian para masyarakat dan anak kemenakan pun kembali mengadakan pertemuan guna membicarakan bagaimana cara mendapatkan raja dari Pagaruyung.


Dari pertemuan tersebut dicapai sebuah kesepakatan untuk kembali mengirimkan utusan ke Raja Pagaruyung meminta agar beliau memberikan seorang raja. Mereka sepakat untuk mengutus rombongan yang kedua ke Pagaruyung dengan dipimpin oleh Suku Mais.
Kepergian rombongan tersebut dilepas dengan penuh harap. Sesampainya di Pagaruyung, setelah melepas lelah, mereka pun menghadap Raja Pagaruyung yang waktu itu masih dipimpin oleh Datuk Popatih Nan Sebatang. Mereka pun menceritaka maksud kedatangannya, yaitu keinginan masyarakat Kepenuh akan diberikannya seorang raja.

Mendengar ungkapan utusan rombongan, Raja Pagaruyung. sangat terkejut, karena beliau sudah memenuhi keinginai masyarakat Kepenuhan melalui rombongan yang dipimpin Suku Ampu. Mendengar ungkapan raja, utusan masyarak Kepenuhan menjadi sangat terpukul, malu, dan salah tingkah atas sikap yang ditunjukkan rombongan pertama. Menyikapi hal tersebut, Raja Pagaruyung memberikan titah untuk melacak apa yang diperbuat Suku Ampu sebagai pimpinan rombongan pertama. Meskipun demikian, dengan bijak, Raja Pagaruyung kemba1i memenuhi keinginan masyarakat Kepenuhan, yakni memberikan seorang raja yang bernama Yang Tuan Besar Dengan Gelar Yang Tuan Muda Dari Pagaruyung.


Rasa haru dan bangga terpancar dari rombongan kedua ini, karena berhasil memenuhi amanah yang telah diemban, yaitu membawa seorang raja dari Pagaruyung. Rombongan kedua pun mengucapkan tenima kasih yang tiada terhingga atas kebijaksanaan Raja Pagaruyung dan sekaligus berpamitan untuk kembali ke Kepenuhan.


Namun demikian, sebelum mereka pulang, salah seorang punggawa Kerajaan Pagaruyung mengusulkan agar membawa 7 hasta kain kemudian setiap pemberhentian mereka harus menyobek kain tersebut. Maksud punggawa tersebut adalah untuk mengetahui arah perjalanan yang dilalui rombongan dua, sehingga dapat ditelusuri arahnya untuk mengantisipasi apabila terjadi kejadian serupa.


Rombongan tersebut pun kembali menuju Kepenuhan dengan mengikuti titah Sang Raja, yaitu merobek kain di setiap pemberhentian mereka hingga sampai di Kepenuhan. Sesampainya di Kepenuhan, mereka disambut dengan perayaan adat.


Mencerma hal demikian, Suku Ampu merasa resah atas keberhasilan rombongan kedua yang dipimpin Suku Mais, Ketika perayaan adat berakhir, malamnya Datuk Bendahara Sakti memberikan kesempatan kepada rombongan kedua untuk menceritakan bagaimana tanggapan Raja Pagaruyung atas permintaan kedua tersebut. Suku Mais menceritakan hasil pertemuannya dengan Raja Pagaruyung kepada Datuk bendahara Sakti. Datuk Bendahara Sakti terkejut ketika mendengar bahwa Raja Pagaruyung sebenarnya sudah mengirimkan raja melalui rombongan pertama yang dipimpin Suku Ampu. Hal itu juga didengar oleh raja baru masyarakat Kepenuhan, ketika Suku Mais bertemu dengan Raja Pagaruyung.


Setelah mendengarkan semuanya, Datuk Bendahara Sakti meminta Suku Ampu untuk menceritakan hal yang terjadi sebenarnya dalam perjalanan membawa raja kecil menuju Kepenuhan. Dengan rasa malu dan serba salah Suku Ampu terpaksa memberanikan bercerita tentang hal yang sebenarnya terjadi. Raja Pagaruyung memang telah memberikan raja kepada masyarakat Kepenuhan, yaitu seorang anak kecil (berumur sekitar 11 tahun), tetapi ketika beristirahat minum dalam peralanan, raja kecil tersebut dibunuh menggunakan bambu yang sebelumnya diruncingkan sebagai wadah raja minum.


Berdasarkan musyawarah yang dipimpin Datuk Bendahara Sakti, maka diberikan sanksi yang sangat berat kepada Suku Ampu yaitu, tidak diperbolehkan memimpin kerapatan adapt untuk selamanya. Sanksi atau larangan tersebut masih diberlakukan sampai sekarang.
Padahal dalam masyarakat, sebagai anak kemenakan, budaya dan tradisi pada waktu itu yang boleh mendampingi atau memimpin dalam adat untuk keseluruhan suku yang ada adalah Suku Melayu dan Suku Ampu. Namun karena kejadian tersebut, Suku Ampu tidak diperkenankan untuk memimpin kerapatan adat. Namun berdasarkan kejadian ini pula masyarakat dan anak kemenakan Suku Ampu justru memberikan penghargaan kepada sikap pemimpinnya yang berani yaitu dengan memberikan gelar Datuk Bendahara Perkasa kepada pucuk Suku Ampu.

Author

Ismail, S.Ag, M.Si

Seluruh kontent dan artiket di website ini dilindungi oleh Undang-Undang, Dilarang mongcopy atau memperbanyak tanpa izin pemeggang hak cipta.